Catatan sepakbola_ Marlin Dinamikanto
Gelaran Euro 88 begitu memukau. Trio Belanda (Ruud Gullit, Marco van Basten dan Frank Ritampil tampil bak orkestra Valverde yang mengalir rampak dan indah. Siapa pun lawan Timnas berseragam Orange dipaksa merusak irama racikan Rinus Michels yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan total football.
Para penggila era 1980-an tentu saja masih ingat tarian si rambut gimbal, bukan saja pandai menggoreng bola, tapi bak seekor kucing membidik mangsa, cekat pula merebut bola dengan terkaman yang tidak terduga. Di kotak penalti sudah menunggu Marco Van Basten yang sukses menceploskan bola ke gawang kiper legendaris Rinat Dassayef Uni Soviet dari sudut teramat sempit.
Setelah Euro 1988 publik sepakbola dunia dibuat landai dengan tidak hadirnya orkestrasi yang dihadirkan talenta-talenta muda dalam satu tim. Perhelatan akbar World Cup dan Euro memang masih dipenuhi suporter yang umumnya menjagokan Timnas sepakbola masing-masing negara. Tidak ada lagi imparsialitas.
Orang Indonesia umumnya menjagokan Tim Orange. Secara historis jejak Belanda terekam jelas lewat Vereenigde Oostindische Compagnie disingkat VOC yang menancapkan kuku di kepulauan nusantara sejak 20 Maret 1602 hingga terusirnya Hindia Belanda oleh tentara Dai Nippon pada 8 Maret 1942.
Eric Cantona, pesepakbola super bengal kesayangan Alex Ferguson memang sukses menginspirasi talenta muda didikan Manchester United angkatan 92 seperti David Beckham, Nicky Butt, Gary Neville, Phil Neville, Paul Scholes dan Ryan Giggs. Namun mereka gagal membawa Inggris bicara banyak di persepakbolaan dunia. Bahkan Ryan Giggs lebih memilih Timnas Wales yang hampir tidak terdengar kiprahnya.
Di level klub mereka luar biasa. Itu pun hanya satu trophy Liga Champions yang sama-sama mereka persembahkan pada 1998 – 1999. Trophy terakhir Liga Champions MU pada 2007 – 2008 sebagian besar generasi emas MU sudah pensiun. Estafet telah berganti ke generasi yang lebih muda seperti Christiano Ronaldo (lyang ditransfer dari Sporting Gijon) dan Wayne Rooney yang dibeli dari Everton.
Paulo Maldini, Alesandro Nesta, Roberto Baggio dan Toti lebih diperhitungkan untuk mengangkat marwah Italia. Begitu juga dengan Zinedine Zidane, Claudio Makalele, Thuram dkk yang mampu mempersembahkan trophy Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 ke negaranya. Selain itu ada George Haggie (Maradona dari Balkan Rumania), Paval Nedved (Cekoslovakia), Hristo Stoichkov (Bulgaria) yang tampil moncer secara individu.
Belanda tidak mau kalah. Squad muda Ajax Amsterdam, sukses membawa trophy Liga Champions ke negaranya. Mereka antara lain Clerence Seedorf, Edgar Davids, Patrick Kluivert, dan lainnya juga gagal mengikuti seniornya menjadikan Belanda yang diperhitungkan, baik di tingkat Eropa maupun dunia. Pencapaian individu Clerence Seedorf boleh lah. Dia meraih 3 trophy liga Champions dari tiga klub berbeda. Tapi tidak bagi negaranya.
Selain Zidane, Thuram dan squad Perancisnya serta Maldini, Toti, Alesandro Nesta bersama squad Italianya, mereka tetap dihormati sebagai legenda di klub masing-masing Namun pencapaiannya masih jauh dari Pele atau Maradona yang sukses menampilkan atraksi sepakbola berkelas.
Gejala pragmatisme di tingkat klub dan negara sungguh terasa di era 1990-an. Mungkin hanya Jerman yang merawat identitasnya sebagai the Panzer. Jogo Benito yang menyajikan keindahan bak tarian Samba. Catenacio yang dianggap membosankan mulai ditinggalkan Italia. Tidak ada lagi pertarungan identitas yang tersaji. Yang ada dalam pikiran sang pelatih hanya bagaimana caranya memenangkan pertandingan
Puncak kemenangan sepakbola pragmatis adalah ketika Yunani memenangkan trophy Euro 2004. Bagaimana tidak? Dengan modal sekali menang 2-1 atas Portugal, seri 1-1 lawan Spanyol dan dikalahkan Uni Soviet 1-2 Yunani lolos dari fase grup. Di fase gugur Yunani masing-masing menang 1-0 melawan Perancis, Republik Ceko dan Portugal.
Sukses Yunani, negara yang sangat tidak diperhitungkan dalam kancah sepakbola Eropa dengan squad medioker berbadan tinggi besar, karena absennya imajinasi sang conductor (pelatih) dalam meracik talenta-talenta muda di klub maupun negara. Tanpa dobrakan generasi muda bertalenta sepakbola akan mati lemas, miskin narasi dan gersang.
Era Kejayaan FC Barcelona
Pujangga Rangga Warsito menyebut, zaman edan kalau tidak ikut-ikutan edan tidak kebagian. FC Barcelona dalam keterpurukan lebih memilih frasa selanjutnya dari wejangan Ki Rangga Warsito, seberuntung-beruntungnya orang edan lebih beruntung orang eling dan waspada.
Di sini Presiden Joan Laporta yang baru terpilih pada 2003 mengangkat Frank Rijkaard sebagai pelatih. Ronaldinho yang tampil menawan membawa Brazil juara dunia ke-6 kalinya pada 2002 langsung diangkut dari PSG. DI putaran pertama Barcelona masih jeblok di urutan ke-6. Maka didatangkanlah Edgar Davids yang memiliki tipe petarung sehingga Barcelona finis di urutan ke-2 pada musim 2003 – 2004.
Frank Rijkaard sukses memadukan talenta La Masia seperti Xavi Hernandez dan Charles Puyol dengan Ronaldinho, Samuel Eto’o, Yaya Tour,v Giuly dan beberapa pemain asal negaranya seperti Giovanni van Bronckhorst, Ronald de Boer, Frank de Boer dan Mark Overmars. Frank Rijkaard ini yang meletakkan pondasi sukses Barcelona hingga era Pep Guardiola dan Luis Enrique.
Selanjutnya Pep mengembangkan total football yang dikenalkan Johan Cruyff di Barcelona dengan konsep tiki-taka yang mengandalkan umpan dari kaki ke kaki untuk mendominasi penguasaan bola. Tiki taka hanya bisa diterapkan oleh pemain-pemain berkelas.
Kehadiran Ronaldinho dengan gocekan indah tidak terduga mungkin menginspirasi lahirnya generasi yang lebih muda seperti Xavi Hernandez, Anders Iniesta, Lionel Messi sang legenda sepanjang masa (Goat), Sergio Busquets, Jordi Alba, Cesc Fabregas yang dibesarkan oleh Arsenal sebelum kembali ke Bona Pasogit FC Barcelona, Gerard Pique, dan penjaga gawang Victor Valdes.
FC Barcelona yang bertumpu talenta-talenta muda didikan La Masia menjadi kekuatan mengerikan. Tapi tidak cukup. Ada stok berlebih di posisi gelandang. Ada lubang di posisi bek sayap dan pertahanan. Maka hadirlah Dani Alves dari Sevilla untuk mengisi bek kanan. Dan pemain lain seperti Javier Mascherano dan lainnya.
Squad Barcelona yang bertumpu kombinasi pemain muda dan pemain berpengalaman membuat berantakan proyek Los Galacticos I Presiden Madrid Florentino Perez yang mengumpulkan para pemain bintang dari seluruh dunia seperti Zinedine Zidane, David Beckham, Ronaldo Nezario, Mesut Ozil, Karim Benzema, Cristiano Ronaldo dan lainnya
Trio pertama yang dihadirkan squad blaugrana adalah Messi, Pedro Rodriguez dan David Villa yang didatangkan dari Valencia. Bangku pelatihan sudah bergeser ke Pep Guardiola. Trio yang didukung squad mumpuni seperti Xavi, Iniesta, Sergio Busquets kadang posisinya bergantian dengan Ivan Rakitic yang didatangkan dari Sevilla, Dani Alves, Gerard Pique, Puyol, Eric Abidal dan kiper Victor Valdes berhasil meraih Trebel Winner yang pertama untuk FC Barcelona.
Trio selanjutnya, di bawah kepelatihan Luis Enrique adalah Messi, Suarez dan Neymar dengan didukung gelandang masih sama serta ada pergantian di posisi bek sayap kiri yang diisi Jordi Alba, serta Puyol, Pique dan Javier Mascherano yang bergantian di posisi bek tengah serta penjaga gawang Mark Andre ter Stegen yang bergantian dengan Claudio Bravo. Trio ini juga sukses menyumbang Trebel Winner yang kedua FC Barcelona.
Pemain penting FC Barcelona biasanya dilindungi klausul pelepasan dengan harga yang diharapkan tidak terjangkau oleh klub rival. Siapa menyangka, Neymar yang dipagari klausul pelepasan 220 juta Euro bisa ditebus oleh klub kaya baru PSG. Dengan iming-iming gaji berlipat-lipat, Neymar yang masih dalam pengaruh kuat ayahnya pindah ke PSG. Sejak itu marwah blaugrana pudar. Dembele, Grizmann, Coutinho, dicoba untuk melengkapi Messi dan Suarez tapi gagal.
Era keemasan Barcelona terbukti menular ke Tim Nasional Spanyol menjadi Juara Euro 2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010. Permainan tiki-taka dijadikan role model baik oleh pelatih Timnas Spanyol Luis Aragones maupun penggantinya Vicente del Bosque. Timnas Spanyol menjadi kekuatan dahsyat di lini serang, tengah maupun belakang yang dihuni Pique dan Sergio Ramos.
Era Perpaduan Skil dan Kekuatan Fisik
Kini sepakbola sudah melangkah ke era yang lebih cepat dengan mengandalkan presing, body contact, akurasi umpan dan secara cepat mengalirkan bola ke jantung lawan. Striker murni No. 9 kembali diandalkan setelah sebelumnya diganti nomer 9 gadungan (fals nine). Itulah kenapa peran Robert Lewandowski, Robbie Keane, terlebih yang lebih muda seperti Erling Halaand menjadi penting.
Sosok pemain sayap militan seperti Jeremy Doku lebih dianggap penting ketimbang sosok flamboyan seperti Jack Grealish. Begitu juga dengan gelandang pekerja keras ala Edgar Davids dan tampaknya (dengan passing yang lebih sempurna) ada dalam diri Gavi. Wajar apabila Xavi Hernandez, pelatih yang mengorbitkannya, menyebut pemilik nama asli Pablo Martin Paez Gavira sebagai permainan FC Barcelona.
Di era sepakbola yang membutuhkan kekuatan fisik, presing dan intensitas tentu saja membuat Barcelona – bahkan saat Messi belum meninggalkan Barcelona – kerepotan.. Bayern Munchen di bawah pelatih Hansi Flick sempat menggilasnya 8 – 2 di Liga Champions. Jangankan Bayern Munchen, melawan Inter Milan saja sulit menang.
Tanpa adanya perubahan, dari sisi olahraga FC Barcelona terancam menjadi klub semenjana. Secara finansial lebih parah lagi. Pemain muda dstang silih berganti. Fatti sempat disebut-sebut calon pengganti Messi. Ternyata melempem. Pedri yang dibeli dari Las Palmas memang bagus tapi belakangan ini rentan cedera. Nico Gonzales gagal menggantikan peran Sergio Busquets. Ilaix Moriba salah agent yang mata duitan, minta bayaran tinggi di usia masih bocah dan sekarang gagal membuktikan performanya di klub lain.
Beruntung dari kawah candra dimuka La Mesia muncul sosok Gavi. Di usianya ke-17 dia sudah menjalani debut bersama FC Barcelona dan Timnas Spanyol. Militansinya dalam merebut bola sudah matching dengan perkembangan sepakbola terkini. Akurasi umpan dan kemampuan menggiring bola di atas rata-rata. Performa gacor Gavi yang akan berulang tahun ke-20 pada 5 Agustus nanti, telah dibuktikan dengan trophy LA Liga 2022 – 2023.
Sayang, tenaganya yang diforsir membuat otot-ototnya rapuh. Sudah lebih 6 bulan Gavi di ruang perawatan. Musim kompetisi 2023-2024 pun Barcelona tanpa gelar. Gavi juga melewatkan Euro 2024.
Di tengah kegelapan selalu datang seberkas cahaya. Seberkas cahaya itu lagi-lagi dinyalakan seorang bocah imigran 16 tahun bernama Lamine Yamal. Selain itu ada Pau Cubarsi di lini pertahanan. Sedianya bek fenomenal berusia 17 tahun ini dipanggil ke Euro 2024. Tapi klub Barcelona keberatan. Sebagai gantinya, Cubarsi akan diikutkan dalam squad Olimpiade Paris.
Kehadiran Lamine bukan saja menghidupkan harapan Barcelona, melainkan juga Timnas Spanyol. Kolaborasinya bersama Nico Williams di sayap kiri membuat Spanyol menjadi satu-satunya tim yang penampilannya paling sedap ditonton sejak penyisihan grup hingga perempat final. Namun, Perancis tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apa pun hasilnya, apabila Nico Williams dan Dani Olmo disatukan di FC Barcelona akan membentuk trio mematikan di FC Barcelona. Ditambah lagi dengan sembuhnya Gavi dan juga Pedri yang baru saja cedera, FC Barcelona akan menjadi ancaman nyata Proyek Los Galacticos jilid II yang sedang dikerjakan Presiden Real Madrid Florentino Perez.
Kejayaan Real Madrid tidak membawa apa-apa bagi Timnas