Kota Pekalongan Garudacitizen Jateng – Isu penurunan muka tanah di Kota Pekalongan, Jawa Tengah terus menjadi perhatian dari berbagai pihak. Fenomena terjadinya penurunan permukaan tanah atau land subsidence di daerah pesisir pantai utara (Pantura) seperti di Kota Pekalongan membuat Pemerintah Kota Pekalongan melakukan berbagai upaya. Pemerintah Kota Pekalongan terus berupaya mencari solusi tentang fenomena alam yang akhir-akhir ini terjadi di wilayah Kota Batik, adanya penurunan muka tanah (land Subsidence) sekitar 6 cm tiap tahun.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Kota Pekalongan, Ir Anita Heru Kusumorini,Msc mengungkapkan bahwa saat ini masih dalam masa pemantauan dan penelitian dari berbagai pihak baik dari Badan Geologi, Kepala Laboratorium Geodesi dari ITB, Dr Heri Andreas memprediksi Kota Pekalongan, Demak dan Semarang terancam tenggelam karena penurunan permukaan tanah, dan Pokja Land subsidence yang dikomandoi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia (Kemenkomarvest RI), Kemitraan dengan Negara Belanda juga ikut memantau land subsidence di Kota Pekalongan melalui satelite, LSM melalui kemitraan sendiri juga sudah pernah menghitung penurunan tanah di Kota Pekalongan dengan hasil yang bervariasi.
“Ada yang mungkin lambat, ada juga yang diperkirakan cepat seperti yang disampaikan oleh Dr Heri Andreas sampai 50 sentimeter. Berdasarkan patok yang sudah dipasang oleh Badan Geologi di Kecamatan Pekalongan Barat turunnya sekitar 0,5 sentimeter per bulan, sehingga setiap tahunnya kira-kira 6 sentimeter. Sementara, di patok yang ada di Kecamatan Selatan memang sekitar 0,2 sentimeter atau tidak terlalu cepat,” tutur Anita.
Menurut Anita, penyebab land subsidence di Kota Pekalongan disinyalir karena pengambilan air tanah yang masif. Selain itu, jenis tanah Kota Pekalongan yang berupa endapan dan berusia muda yang secara alami akan mengalami penurunan. Kondisi ini diperparah, karena Kota Pekalongan tidak mempunyai sumber air di permukaan. Sehingga banyak warga yang menggunakan sumber air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air warga, industri, maupun lainnya.
“Kota Pekalongan ini memang tidak memiliki sumber air permukaan, semuanya mengambil dari air tanah,PDAM, sektor industri, kegiatan perhotelan, dan sebagainya yang mengambil air tanah secara masif. Sementara, tanahnya Kota Pekalongan ini merupakan endapan muda, yang secara alami akan mengalami penurunan,” ucap Anita.
Anita menerangkan, saat ini yang baru bisa dilakukan Pemerintah Kota Pekalongan adalah moratorium terhadap rekomendasi pengambilan air bawah tanah. Tetapi, tidak bisa menghentikan yang sudah ada. Kota Pekalongan saat ini tengah mengupayakan supaya pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Regional Petanglong, yaitu SPAM yang mencakup beberapa daerah kabupaten/kota Pekalongan dan Batang bisa segera terwujud 100 persen. Sehingga, nantinya ada suplay air yang dari PDAM itu yang disuplay dari SPAM Regional Petanglong tersebut.
“Tapi yang sudah berjalan ini baru yang ada di Kabupaten Pekalongan, itupun belum maksimal yang kita terima. Yang Batang juga belum. Itu juga diperhitungkan dengan pertambahan penduduk, kegiatan industri yang ada di Pekalongan, kita tidak bisa mengandalkan di dua sumber itu. Sebab,baik Kabupaten Pekalongan dan Batang pun membutuhkan sumber air tersebut untuk pemenuhan kebutuhan daerah mereka sendiri. Sehingga,kita harus mencari alternatif-alternatif lainnya, seperti memanfaatkan sumber-sumber air yang ada di Kota Pekalongan baik dari sungai, kemudian Kota Pekalongan juga ada longstorage di tanggul rob, termasuk nanti pembangunan kolam retensi untuk penanganan banjir dan rob itu jika sudah jadi yang dimungkinkan airnya bisa diolah menjadi air bersih,” tutur Anita.
Anita menyebut izin penggalian sumur tanah dan pembangunan gedung bertingkat diberikan oleh provinsi, sedangkan pihaknya sebatas memberikan rekomendasi. Anita menambahkan, banyak kajian akademis yang meneliti terkait penurunan muka tanah Kota Pekalongan. Pihaknya pun merasa terbantu untuk mencari solusi dengan penelitian tersebut.
“Untuk izin bukan kewenangan pemkot, kewenangannya ada di provinsi, kita hanya rekomendasi, maka sekarang DLH yang memang harus pengawasan ketat terutama di lokasi yang berpotensi mengalami penurunan muka tanahnya tinggi atau memang masih aman. Karena itu, kita sudah hentikan memberi rekomendasi untuk izin sumur tanah terutama di wilayah Utara. Sedangkan, untuk gedung bertingkat juga sudah ada pengaturannya seperti yg tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah ( RT/RW) Kota Pekalongan mengenai lokasi bangunan maksimal itu bisa sampai berapa lantai sebenarnya sudah ada. Dari prediksi MercyCorps itu kalau kita tidak berbuat apa-apa, dimungkinkan pada tahun 2035 Kota Pekalongan akan tenggelam, kita perlu mewaspadai dan antisipasi juga. Dari masyarakat saat ini sudah mulai ada perhatian, harapan kami dengan semakin perhatiannya publik terhadap masalah ini, bisa membantu pemerintah mencarikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi,” pungkasnya.(HL/Dyfa)