SEMARANG Garudacitizen Jateng – Mengurai Hukum yang hidup di dalam masyarakat pada dasarnya merupakan hukum yang diakui oleh kelompok masyarakat, di mana hukum tersebut lahir dari kebiasaan-kebiasaan tidak bersifat sengketa melainkan sebuah pandangan rasional masyarakat tentang keadilan dan keidealan hukum dasar dicita-citakan oleh masyarakat.
Hukum tersebut telah termaktum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. KUHP itu sendiri akan berlaku 3 tahun sejak disahkan. Dalam rentang waktu tersebut Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia secara persisten melakukan sosialisasi terkait KUHP di seluruh wilayah.
Salah satunya yaitu melalui Seminar Nasional yang digelar secara hybrid pada hari ini, Senin (24/07), bertema “Menyongsong berlakunya Hukum yang Hidup dalam Masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”.
Plt. Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng Hantor Situmorang bersama seluruh Kepala Divisi dan Pejabat Administrasi serta para pelaksana mengikuti seminar tersebut secara virtual dari Aula Kresna Basudewa Kanwil Jateng.
Menkumham Yasonna H. Laoly membuka seminar tersebut mengatakan, bahwa hukum yang hidup di masyarakat sering dianggap lebih dapat menyelesaikan permasalahan hukum di masyarakat. Hal ini tak bisa dipungkiri, mengingat hukum adat lebih lama tinggal berdampingan dengan masyarakat Indonesia.
Namun melalui KUHP baru telah diatur pula hukum yang hidup di dalam masyarakat tersebut karena hal itu sangat penting diakomodasi mengingat kebutuhan masyarakat akan keadilan terus berubah.
“Hukum adat merupakan aturan yang tidak tertulis, telah lama hidup di masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri aturan hidup dalam masyarakat dianggap lebih dapat menyelesaikan permasalahan hukum di masyarakat,” jelas Menkumham.
“KUHP baru telah mengatur mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat, bagaimana menggabungkan lingkungan hukum terpisah tersebut, antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat yang selama ini dikenal sebagai sistem unifikasi hukum,”
“Pembaruan hukum termasuk hukum pidana adalah keniscayaan karena kebutuhan akan keadilan masyarakat terus berubah dan harus diakomodasi. Salah satunya dengan memasukan unsur hukum yang hidup di masyarakat atau the living law, dan menjadikan hukum yang hidup di masyarakat sebagai dasar untuk menentukan seseorang dapat dipidana atas dasar penuntutan,”
Pasal 2 KUHP memuat tentang hukum yang hidup di dalam masyarakat pun perlu disikapi lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah berisi tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
“Pasal 2 ayat 2 KUHP secara eksplisit telah mencantumkan batasan keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Keberadaan pasal ini perlu disikapi lebih lanjut dengan menyusun aturan turunannya dalam bentuk aturan pemerintah tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup di dalam masyarakat,” ujarnya
Sementara itu Kepala Badan Strategi Kebijakan Y. Ambeg Paramarta dalam laporannya mengatakan tujuan dari seminar ini salah satunya juga sebagai upaya mengidentifikasi kebutuhan substansi dan materi muatan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai bahan rekomendasi kebijakan dalam pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Ia berharap pihak-pihak yang tergabung dalam seminar ini dapat memberikan kontribusi positif dan menyumbangkan pikiran untuk pembaruan hukum nasional kedepannya.
“Melalui seminar ini Kemenkumham mengajak semua unsur untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam rangka pembentukan PP tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup di dalam masyarakat, nantinya akan menjadi pedoman / acuan bagi pemda dalam menyusun perda terkait hukum yang hidup dalam masyarakat,” terang Ambeg.
“Kami berharap seminar ini menjadi pemicu bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan diskusi lebih lanjut yang bertujuan untuk merumuskan materi muatan dalam PP ini,” harapnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej berkesempatan untuk bergabung dalam seminar ini sebagai salah satu narasumber mengatakan bahwa ketika berbicara mengenai Pasal 2 tidak bisa terlepas dari Pasal 12 dan Pasal 57 UU KUHP.
“Ini ada benang merah, pedoman pemidanaan yang salah satu poin mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat itu dipakai hakim bisa untuk menjatuhkan pidana bisa juga untuk tidak menjatuhkan pidana,”
“Saya ingin mengatakan bahwa terkait keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat, hukum pidana adat merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat tetapi tidak semua hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan pidana adat. Kita harus memisahkan ini, maka ada asas keseimbangan (dalam pasal tersebut),” jelas Wamenkumham.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber yang sangat berkompeten di bidangnya yaitu Guru Besar FH Universitas Diponegoro Pujiyono, Hakim Agung MA Prim Haryadi, Dosen Hukum Pidana FH Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Ferry Fathurokhman, dan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus A.T Napitupulu. (Sumber Humas Menkumham/HL)