GarudaJateng – Pendidikan karakter menjadi isu seksi berbagai kalangan, terutama kalangan pendidikan. Hal ini terdorong oleh adanya fakta bahwa siswa sebagai produk pendidikan belum kuat secara kemanusiaan, serta kepribadiannya masih lemah sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal dari luar.
Selain itu, semangat untuk belajar, berdisiplin, beretika, bekerja keras, dan sebagainya kian menurun. Peserta didik banyak yang tidak siap untuk menghadapi kehidupan sehingga dengan mudah meniru budaya luar yang negatif, terlibat di dalam amuk massa, melakukan kekerasan di sekolah, dan sebagainya.
Meningkatnya kemiskinan, menjamurnya budaya korupsi, munculnya plagiatisme, menguatnya politik uang, dan sebagainya merupakan cerminan dari kehidupan yang tidak berkarakter kuat untuk menuju bangsa yang berperadaban maju.
Kemajuan zaman menuntut berbagai macam kebutuhan-kebutuhan. Kebutuhan yang dituntut pada hakikatnya didasarkan dua jenis perkembangan, yaitu perkembangan individu dan perkembangan kelompok (Moody, 1971).
Pendidikan mempunyai peran penting dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Pendidikan di sekolah perlu memberi perhatian cukup besar pada penanaman nilai-nilai positif atau humanistik untuk melahirkan manusia berkualitas etis.
Bukan hanya itu saja, globalisasi juga melahirkan sikap dan tindakan kompetitif yang semakin tinggi dan patut kita miliki. Fakta yang terjadi prinsip survival of the fittest, siapa yang kuat dia yang menang, yang terkadang menghalalkan segala cara, memarginalkan sifat-sifat etis dan estetis. Pola pikir dan perilaku demikian dapat melemahkan nilai-nilai karakter dan sosial budaya.
Jika gejala tersebut dibiarkan berlanjut, tidak mustahil menjurus pada goyahnya keutuhan NKRI. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi yang serius dan berkelanjutan. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda perlu memperkokoh karakter dan jati diri sehingga tidak mudah terprovokasi oleh berbagai budaya yang tidak sesuai dengan karakter kepribadian bangsa.
Di sinilah letak peran strategis pendidikan untuk memecahkan masalah yang akhir-akir ini terjadi di masyarakat. Melalui pendidikan, peradaban sebuah masyarakat dapat terbentuk, agent of change. Berawal menata institusi pendidikan, manusia-manusia berkarakter dan bermoral niscaya dapat diharapkan.
Singkatnya, institusi pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan. Salah satu pembelajaran yang sekiranya mampu memediasi adalah pembelajaran puisi, khususnya menulis puisi.
Hal ini disebabkan karena sastra puisi secara etimologis berarti sebagai alat untuk mendidik, sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai dengan fungsinya yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat). Kebermanfaatnya diketahui karena didalamnya terkandung amanat yaitu nilai moral yang bersesuaian dengan pendidikan karakter.
Disisi lain, pembelajaran menulis puisi juga dikembangkan karakter tekun, cermat, taat, dan kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter ketelitian dan berpikir ke depan (visioner).
Mengingat hal tersebut, berharap pengajaran menulis puisi di sekolah-sekolah dapat memberi sumbangsih pembentukan karakter bangsa dan penanaman nilai-nilai moral.
Apa sesungguhnya puisi itu?
Beberapa ahli berpendapat, puisi adalah pernyataan perasaan imajinatif penyair yang masih abstrak sehingga peristiwa-peristiwa yang telah dilakukan dalam pikiran dan perasaan penyair perlu dikonkretkan (Hasanudin WS, 2002).
Kemudian Leigh Hunt (dalam Semi, 1988) mengatakan, puisi merupakan luapan atau gelora perasaan yang bersifat imajinatif.
Melalui pembelajaran menulis puisi, berharap dapat dijadikan sebagai media penyemaian nilai-nilai karakter yaitu, berjiwa luhur, berperikemanusian, tidak merampas hak orang lain, jujur, dan mandiri.
Melalui pembelajaran menulis puisi, berharap juga sebagai media subur penanaman nilai-nilai moral untuk mengatasi dan mengikisnya peradaban, ciri dan kepribadian bangsa karena cinta tanah air dan bangsa banyak ditemukan dalam karya sastra puisi.
Para siswa dilatih untuk mampu menuangkan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra puisi yang dibuatnya. Dengan menulis puisi diharapakan nilai-nilai moral dapat dituangkan, serta ditiru dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Karya sastra puisi berperan sebagai media pembelajaran moral dan karakter.
Hal ini diyakini oleh pendapat Nurgiyantoro (1995) yang menyatakan bahwa moral dalam karya sastra puisi biasanya mencerminkan pandangan tentang nilai-nilai-nilai kebenaran. Dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Dunia pendidikan sudah semestinya tidak hanya memburu dan mementingkan ranah kognitif semata. Pembelajaran menulis puisi yang merupakan bagian dari pembelajaran Bahasa Indonesia perlu diberikan porsi lebih dan diajarkan pada semua jenjang pendidikan.
Dengan demikian, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami nilai-nilai moral dan karakter. Dalam hal ini, puisi dapat menjadia media strategis untuk mewujudkan pendidikan moral dan karakter bangsa. Untuk itu, stereotip bahwa menulis puisi sebagai aktivitas yang sulit dan membosankan haruslah dihilangkan. (Arintoko)